PKTeenable.com-Solo. Hari Jumat, 9 November 2018. Tim Jurnalistik melakukan wawancara dengan seorang pejuang literasi generasi X. Lahir di Pekalongan, 1975, dan bertempat tinggal di Malangjiwan, Colomadu. Bapak Syifaul Arifin nama beliau. Bekerja sebagai wartawan solopos dan pengurus Majelis Pustaka Muhammadiyah.
Kita tahu bahwa lahir di era digital dan dibesarkan bersamaan dengan teknologi kerap memunculkan masalah. Menurut bapak Syifaul Arifin itu semua sudah sunatullah, sudah menjadi hukum Allah karena ini berhubungan dengan situasi di masyarakat, remaja saat ini, remaja besok, atau pun remaja kemarin. Masalah yang di hadapi dalam kehidupan itu berbeda-beda.
“Karena pada masa yang lalu teknologi belum masif perkembangannya dan itu hanya digunakan untuk membantu kehidupan masyarakat. Sedangkan sekarang teknologi sudah masif, maka masyarakat menikmatinya. Selain sangat membantu, teknologi juga bermanfaat untuk hiburan. Maka generasi Z ini sangat beruntung dengan hadirnya teknologi dalam kehidupannya,” jelasnya
Mengenai permaslaahan teknologi dari generasi ke generasi Pak Syifaul juga berpendapat bahwa semakin baru generasinya, semakin baru pula masalah yang dihadapi. Termasuk dalam penggunaan teknologinya sendiri. Bisa menjadi permasalahan pokok di setiap individu. Jejaring sosial, TIK, maupun sejenisnya diibaratkan “Pisau Bermata Dua”. Maksud dari kalimat ini adalah ketika pisau ingin digunakan dalam hal positif, pisau ini dapat digunakan sebagai alat pemotong dan alat memasak, tapi di sisi lainya—sisi negatif pisau bisa berfungsi sebagai alat melukai. Itu juga berpengaruh untuk TIK, jika penggunanya adalah orang amatir tanpa keinginan berbagi ilmu, TIK bisa di manfaatkan secara serampangan tak menentu arah tujuan dan bisa merugikan diri sendiri. Misal kita memasang status di Twiter, instagram, facebook. Mereka yang tidak mengerti dan memahaminya pasti menggunakannya dengan serampangan, secara asal-asalan. Yang bisa saja status itu menyakiti pihak lain. Lalu, muncul gugatan-gugatan, kritik dari pihak lain. Ada juga kadang kala kita memanfaatkan teknologi untuk menguntit, meng-upload hal-hal yang seharusnya privasi. Itu semua terjadi karena adanya kekurangan pengetahuan remaja dalam menggunakan teknologi itu.
Perlu kita tahu, jejak digital di internet itu sudah terekam, tidak dapat dihapus lagi. Jadi, sekali kita masuk ke dalam dunia maya, kita seperti masuk dalam labirin, kita sudah terjebak di dalamnya. Mestinya sebagai remaja kita perlu kehati-hatian memasang status, upload dan sebagainya.
Maka dari itu, remaja perlu membentengi diri. Salah satunya adalah perlunya Kesadaran Literasi digital.
Apa itu Kesadaran Literasi Digital, Pak?
Kesadaran itu anggap saja kemampuan orang memanfaatkan, menggunakan internet dengan benar.
Diharapkan jika kita memiliki kesadaran berliterasi. Kita dan para remaja terkhususnya tidak mudah terjerembap ke dalam dampak negatif internet. Misalnya saja, jangan suka menyebar hoax. Ada istilah “SARING SEBELUM SHARING” jadi setiap informasi yang kita dapat, sebelum kita sebar luaskan kita saring terlebih dahulu, kita klarifikasi benar atau salahnya. Barulah setelah sepenuhnya benar kita bagikan.
Kedua, untuk remaja sekarang, umumnya generasi Z tahun 90-an hingga 2000, internet dan segalanya itu semuanya serba instan. Jika ingin mendengar ceramah tidak perlu datang ke musala atau surau, langsung lihat di Youtube. Inilah yang menjadikan internet menjadi panutan. Setelah sosial media seperti Instagram, facebook dan lainnya ada. Muncul artis-artis layaknya selebgram yang mana kadang kala, secara tidak langsung kita meniru gaya, perilaku, dan kebiasaan orang yang kita contoh. Ini kembali lagi ke awal bahwa semua yang berasal dari media sosial perlu di saring, kita harus tahu orang dambaan kita itu seperti apa.
Pak Syifaul juga sempat bercerita, dulu pada era beliau (1980). Beliau sangat menikmati arus teknologi ini, transisi analognya masih terasa. Jadi beliau sebagai generasi X masih sempat merasakan sensasi mengetik dengan mesin ketik, atau mendengar musik melalui kaset. Setelah perkembangan industri dan teknologi beliau masih tetap merasakan nostalgia-nostalgia tersebut. Contohnya saja sekarang anak SMP, SMA semua bermain dengan gadget mereka, memprogram sistem. Tapi di zaman beliau anak-anak pergi berlari, main di sawah, dan mandi di sungai. Perbedaannya sangat berbeda jauh. Oleh Karena itu, generasi Z tak dapat merasakan apa yang di rasakan pendahulunya, seperti perubahan dari analog ke digital atau menggunakan alat-alat yang sekarang sudah mengalami modernisasi. Namun anak zaman sekarang punada kelebihannya, yaitu kreatif.
Hingga akhir sesi wawancara, kami saling bertukar cerita dan informasi. Lalu beliau berpesan untuk kami dan seluruh remaja di Indonesia.
Kita nikmati saja apa yang kita alami, tapi bukan berarti kita mengikuti arus. Maksudnya, berhati-hatilah dengan teknologi karena teknologi berdampak positif dan negatif. Maka ambil yang positifnya saja. Main Istagram boleh, tapi follow-lah akun-akun yang positif, melihat youtube boleh, tapi lihatlah tontonan yang positif dan bermanfaat.
COMMENTS