Live Streaming PKTenable.com Radio

Cerpen Sahabat Semusim

Cerpen Sahabat Semusim

Puisi Pohon
Just Be Yourself
Anak Muda Banyak Karya!

Sahabat Semusim*)

Karya: Milladina Kamilia Yasmin

sumber foto dari internet

Menginjakkan kaki di tempat ini selalu mengingatkanku pada Sensen. Di pendapa Pura Mangkunegaran, satu tahun yang lalu, untuk pertama kalinya kami bertemu. Waktu itu sama-sama mengikuti ajang lomba mengarang tingkat kota.

Kami bersama puluhan siswa yang mewakili sekolah masing-masing, sedang mengerjakan tugas. Di tengah mengerjakan tugas, aku tidak sengaja membuat kotor tugasku dengan sebuah coretan. Kucari-cari penghapusku yang terselip entah ke mana. Srek… srek… bunyi gesekan kertas yang berserakan rupanya memecah keheningan. Di tengah kebingungan mencari-cari, tiba-tiba sebuah tangan yang putih dan mulus terulur di depanku. Sebuah penghapus ada di genggamannya. Aku menengadah, sang pemilik tangan tersenyum manis memperlihatkan deretan gigi yang putih dan rapi.

Dia adalah gadis bermata sipit, berhidung mancung, dan berbibir kemerahan. Rambutnya hitam legam dikepang dua. Dia mengenakan seragam putih dengan rok kotak-kotak berwarna merah.

“Pakai saja punyaku. Kamu mencari penghapus ‘kan?” ujarnya lembut.

Lalu kutarik bibirku keluar membentuk senyuman, “Terima kasih,” jawabku sambil meraih penghapus milik gadis itu.

Lomba yang berlangsung seharian usai juga. Sambil menunggu hasil, peserta duduk-duduk di tangga pendapa. Terlihat di gadis bermata sipit duduk sendirian, aku pun menghampirinya.

“Hai, boleh aku ikut duduk?”

“Boleh-boleh saja,” jawab si gadis dengan memperlihatkan lesung pipit di kedua pipinya.

Angin musim kemarau membuat kerudung putihku melambai-lambai.

“Kau dari sekolah mana?” tanya si pipit.

“SMP Muhammadiyah PK. Kamu?”

“Aku dari Regina Pacis.”

“Terima kasih ya, sudah meminjamkanku penghapus.”

“Tidak masalah. Bukankah orang hidup harus saling tolong-menolong?”

“Betul. Kamu keren.”

“Ah biasa saja. Ngomong-ngomong, namaku Sen Tjiaw, biasa dipanggil Sensen,”ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Aku menyambut tangannya. Kami pun bersalaman.

“Aku Ailsa.”

“Rumahmu di mana?”

“Aku di Banyuanyar. Kamu?”

“Aku di Jalan Jawa Ngarsopuran. Tinggal jalan saja dari sini.”

“Wah enak ya lomba di deket rumah.”

“Iya, waktu tahu lombanya di sini, orang tuaku senang sekali karena tidak harus mengantar jemput. Bisa jalan sendiri.”

Sensen bercerita, Pura Mangkunegaran bukan tempat yang asing baginya.

“Dua pekan sekali aku menari di sini,” ujarnya.

Wow… keren sekali kenalan baruku ini. Tak kusangka gadis keturunan Tionghoa ini mau belajar kesenian tradisional Jawa. Aku saja yang Jawa tulen tidak melakukannya.

“Aku suka budaya Jawa. Bukan suka, tapi cinta. Aku beruntung tinggal di dekat Pura Mangkunegaran. Di sini banyak kegiatan seni pertunjukan,” sambungnya.

Aku semakin kagum. Sayang obrolan kami harus berakhir karena panitia memanggil seluruh peserta untuk mengumumkan pemenang lomba. Ternyata pemenangnya adalah Sensen. Sementara aku harus puas dengan gelar juara harapan dua. Sensen membawa trofi besar keemasan. Sementara aku cukup dengan trofi yang mungil.

“Ailsa naik apa?” tanya Sensen sebelum pulang.

“Aku menunggu dijemput ibuku.”

“Aku temani sampai ibumu datang ya?”

“Boleh. Kamu baik sekali.”

Hening sebentar. Kami menyaksikan anak-anak lain pulang satu persatu.

“Ailsa, kalau libur mainlah ke rumahku. Nanti aku kenalkan dengan mami, papi, dan engkongku.”

“Baiklah. Terima kasih sudah mengundangku.”

Kami pun saling bertukar nomor telepon.

Suara klakson mengejutkan kami berdua. Ternyata ibuku sudah datang menjemput dengan mobilnya.

“Sensen, aku duluan ya? Sampai ketemu.”

“Bye Ailsa,” jawabnya.

Dua minggu berlalu. Kupenuhi janjiku berkunjung ke rumah Sensen. Sekitar pukul 10.00 WIB aku sudah di depan rumahnya. Rumah Sensen tidak terlalu mewah, tetapi besar. Aku menunggu di ruang tamu, setelah dipersilakan masuk Oeh Engkong yang ramah. Tiba-tiba Sensen datang menghampiriku.

“Wah, sudah datang ya, maaf harus menunggu.”

“Tidak apa-apa.”

Sensen mengajakku menemaninya berlatih menari. Sebelumnya dia mengajakku berkelilling di Pasar Windu Jenar. Walaupun sudah 13 tahun tinggal di Solo, aku belum pernah mengunjungi pasar antik itu.

Beberapa pedagang tampak sudah kenal dengan Sensen. Sensen menyapa mereka dengan sopan sambil berkeliling. Tibalah kami di sebuah kios kecil yang menjual aneka souvenir dan scarf. Pemilik kios menyambut Sensen yang datang menghampirinya. Pemilik kios itu bernama Bu Suyati.

“Halo Nak Sensen! Apa kabar?”

Bu Suyati adalah wanita paruh baya. Ia mengenakan kebaya dan sanggul. Sebuah kaca mata bertengger di atas hidungnya.

“Halo Bu. Kenalkan ini temanku Ailsa,” aku menyalami beliau.

“Nak Ailsa baru sekali ke mari ya?”

“Iya Bu.”

Sensen melihat-lihat barang jualan Bu Suyati.

“Scarf yang bagus ada Bu?”

“Ada, itu di pojokan,” jawab Bu Suyati sambil menunjuk setumpuk kain di pojok kios.

“Ailsa, kamu suka motif apa?”

“Aku suka semua, hehe.”

“Aku belikan kamu scarf bermotif wayang ya? Kamu bisa pakai untuk kerudung.”

“Wah, tidak perlu repot-repot,” jawabku basa-basi.

Sensen, kamu teman yang baik dan penuh perhatian. Bisikku dalam hati. Sensen tidak ambil peduli. Dibayarnya scarf lucu berwarna merah bata. Diserahkannya bungkusan scarf tersebut kepadaku.

“Ini untukmu sebagai kenang-kenangan.”

Aku terharu, “Terima kasih Sensen.”

Waktu terus berlalu. Waktunya menuju Pura Mangkunegaran. Sensen harus bergabung dengan teman-temannya berlatih menari. Kami pun bergegas ke sana. Sensen dan teman-temannya di sanggar tari berlatih serius di pendapa kecil sebelah timur Pura Mangkunegaran. Mereka masing-masing membawa sampur. Sampur adalah selendang khusus yang biasa dipakai para penari.

Aku melihat dari pinggir pendapa. Alunan gendhing Jawa mengiringi tarian Sensen dan teman-temannya. Ada sekitar dua puluh anak berlatih di sana. Sensen satu-satunya gadis keturunan Tionghoa. Seorang pelatih mengambil posisi paling depan. Gerakan Sensen sangat luwes. Aku sangat terpana.

Setelah hari itu aku beberapa kali main ke rumah Sensen. Begitu puka Sensen, dia juga beberapa kali main ke rumahku. Kami juga sering pergi bersama ke sejumlah cagar budaya, seperti Museum Radya Pustaka, Keraton, dan menghabiskan waktu di Beteng Vastenburg. Kami menjadi sahabat yang akrab hingga suatu hari aku menerima kabar bahwa Sensen kritis di rumah sakit. Aku bergegas menjenguknya.

“Sebenarnya selama ini Sensen mengidap kanker usus. Tapi, dia minta sakitnya dirahasiakan. Sensen tidak mau membuatmu sedih dan dia juga tidak mau dikasihani,” ucap ibunya Sensen.

Beberapa hari menginap di ICU, Sensen menghembuskan napas terakhirnya. Aku sangatlah sedih. Rasanya persahabatan kami terlalu singkat.

Setahun berlalu, musim pun berganti. Aku kembali mengikuti lomba mengarang. Ajang lomba yang pernah kuikuti bersama Sensen tahun lalu. Hanya saja tahun ini tak ada peserta gadis bermata sipit yang meminjamkan penghapus padaku. Kisah hidup Sensen menjadi inspirasiku untuk menulis. Aku menceritakan tentang gadis Tionghoa yang sangat mencintai budaya Indonesia.

Oh, iya, mulai Minggu lalu aku resmi bergabung di sanggar tari yang pernah diikuti Sensen. Aku ingin mendalami budaya tanah airku seperti Sensen.

Juri lomba tahun ini memutuskan karyaku sebagai yang terbaik. Saat upacara pemberian penghargaan, tak terasa butir-butir bening membasahi trofi yang ada di tanganku.

“Sensen, air mata dan kemenangan ini kupersembahkan untukmu, sahabatku.”

*)Pernah dimuat pada Antologi Cerpen Sahabat Semusim tahun 2017

COMMENTS