Penguatan Karakter di Era Layar
Muhdiyatmoko, S.Pd.
Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta
Dua buah peristiwa yang membuat kita mengernyitkan dahi dan miris mendengarnya adalah pemerkosaan yang berujung pembunuhan siswa berinisial YY di Bengkulu dan pembunuhan seorang dosen di Medan. Dua peristiwa tersebut menjadi sesuatu yang paradoksal dengan bangsa kita yang konon terkenal ramah, berbudaya, bermoral, dan religius. Tindakan sadis dan biadab yang dipertontonkan oleh keempat belas anak dan satu mahasiswa tersebut hendaknya menjadi bahan refleksi bersama baik orang tua, stakeholder penyelenggara pendidikan maupun pemerintah. Adakah pertanda nilai-nilai pendidikan karakter telah sirna? Adakah something wrong dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini?
Gambaran suram masyarakat Indonesia masih dapat dirasakan dan dilihat setelah 70 tahun Indonesia merdeka. Kita menyaksikan ada dan berkembangnya fragmentasi kehidupan, split personality, menguatnya egoisme pribadi dan kolektif, marak dan meluasnya aneka konflik, rusaknya komunitas moral, banyaknya acuan praktik tanpa teori, dan teori tanpa impelementasi, dan meluasnya kesenjangan yang mengisi pemberitaan media publik. Identitas karakter bangsa semakin tidak jelas, nyaris kehilangan jati diri. Menghormati jabatan lebih penting dari menghormati pribadi sebagai manusia. Menurut Suyata (dalam Zuchdi 2011: 3) menyatakan bahwa semuanya tersebut sumber utamanya barangkali pada terabaikannya atau bahkan tidak adanya konseptualisasi karakter Indonesia dan penerapan dalam kehidupan. Masyarakat mulai kehilangan keadaban menurut professor Azumardi Azra.
Padahal pendidikan karakter adalah proses yang tidak pernah berhenti. Pemerintah boleh berganti, raja boleh turun tahta, presiden boleh berakhir masa jabatannya, namun pendidikan karakter harus berjalan terus. Pendidikan karakter bukanlah sebuah proyek yang ada awal dan akhirnya. Pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk menjadikan seseorang menjadi warga masyarakat dan warga Negara yang baik. Apalagi saat ini kita hidup di era digital.
Era digital ditandai dengan “serba layar” menuntut semua orang untu bertindak serba cepat, akkurat, dan tepat. Kini anak-anak kita hidup di era layar. Betapa tidak. Anak-anak kita sudah sangat familier dengan gadget, komputer, internet, game, televisi, dan sebagainya. Semuanya itu adalah layar yang menyebabkan anak-anak kita banyak terinspirasi. Tak jarang apa yang ditawarkan oleh media tersebut bersifat instan, hedonis, dan pragmatis. Sehingga hal ini menyebabkan anak-anak kita menginginkan sesuatu yang serba cepat, mudah, dan instan. Ingin mendapatkan sesuatu tanpa kenal halal-haram. Ingin mendapatkan semua tanpa memmertimbangkan faktor baik-buruk. Hal itu membahayakan manakala mereka sudah dewasa.
Memang terkadang kita mentolerir anak kita ketika mereka menonton tayangan kartun di televisi. Atau pun bermain play station dan game online dengan embel-embel itu kan film dan tontonan. Padahal tidak jarang apa yang ditampilkan dalam film tersebut tidak sesuai dengan perkembangan jwa anak. Tokohnya memang kartun tetapi permasalahan yang diangkat jauh dari fitrah anak. Fitrah anak adalah menyukai kebenaran, keadilan, kasih saying, dan lain-lain. Film yang menayangkan kehidupan yang serba senang dan mewah. Hal ini kelihatan sepele tetapi membahayakan. Maka tidak heran jijka anak-anak tidak mau bersusah-susah, mudah marah, mudah menyerah, dan lain sebagainya.
Penguatan karakter penting mengantisipasi tumbuh kembanya generasi instan. Pentingnya etos kerja, rajin, jujur, religious, toleransi, pantang meneyerah, tanggung jawab, dan sebagainya. Nilai-nilai ini disemai sejak dini. Tidak akan berarti pengetahuan tanpa impementasi. Tentu jasa hal ini membutuhkan peran dari orang tua dan guru untuk memberikan keteladanan. Perang paling strategis adalah keteladanan. Oleh karena itu, nilai-nilai dan habituasi (pembiasaan) yang selama ini telah dikembangkan di perguruan Muhammadiyah Kottabarat (TK-SD-SMP) tidak akan berarti tanpa adanya keteladan dari semua pihak yakni sekolah-siswa-orang tua.
(Pernah dipublikasikan di majalah PKMedia edisi 26)
COMMENTS