Live Streaming PKTenable.com Radio

Cerpen A LIFE JOURNEY

Cerpen A LIFE JOURNEY

Dark Horse
Resensi Buku Komet Minor
Five Feet Apart, Ketika Cinta Harus Terpisah Jarak

A Life Journey

Terkadang kita di atas, terkadang kita di bawah,

kita harus siap akan segala kemungkinan

oleh Fathi Qushoyyi Ahimsa Kelas 8 B

Fathi Qushoyyi Ahimsa Kelas 8 B

Aku berlari, hujan turun dengan derasnya. Sesekali aku terjatuh dengan keras ke tanah. Barang daganganku jatuh berceceran. Kurapikan barangku, kulanjutkan mencari tempat berteduh. Dari kejauhan terlihat sebuah rumah usang yang terbuat dari kayu, mungkin sudah tak berpenghuni. Kupercepat langkahku menuju ke sana. Setelah aku sampai, aku segera membersihkan bekas tanah yang masih menempel di baju tadi. Beberapa detik berselang, terdengar suara langkah kaki dari dalam rumah. Aku mundur selangkah, bersiap menghadapi apa yang akan keluar dari sana. Munculah seorang pria berbadan besar dan bertato serta membawa parang di tangan kanannya. “Hei, apa yang kau lakukan di sini?” ujarnya dengan logat batak yang kental. Terbesit sesuatu yang konyol di pikiranku, kenapa bisa orang Batak ada di Bandung, ah entahlah. “Saya numpang berteduh di sini Bang, saya tak tahu, ada orang di rumah ini,” kataku dengan terbata-bata. “Pergi sana! Kalau kau tak mau pergi, kuambil barang-barangmu,” pintanya dengan tegas. “Tapi Bang, jualan saya cuma kain batik dari ibu saya, jualan ini untuk kehidupan sehari hari,” kataku memelas. Aku tidak mau kehilangan sumber penghasilanku, jika barangku diambil bagaimana aku membayar kos dan membeli makanan. Tiba-tiba dia merebut dagangan yang ada di tanganku secara paksa, aku tak bisa menghentikannya. Dia lalu menutup pintu rumahnya dengan keras. Hujan berhenti, kupercepat langkahku menuju kos-kosan. Sampai di kos, aku tak tahu harus berbuat apa, aku sudah tak punya uang lagi, aku putus asa. Karena saking lelahnya, aku tertidur dengan lupa mengganti bajuku yang kotor tadi.

Paginya aku terbangun, aku segera mandi. Kutengok jam menunjukkan pukul 5, aku harus segera berangkat ke kampus karena jarak kampus dengan kosku lumayan jauh. Kulambaikan tanganku ke arah bus jurusan ke kampus. Setelah sampai, aku segera masuk kelas. Di sela-sela pelajaran, temanku Taufik menanyakan padaku, kenapa aku terlihat murung. “Fik, kemarin barang-barangku diambil sama orang, aku udah nggak punya uang,” ujarku pelan “Kok bisa Fan?” sahutnya terkejut. Lalu kujelaskan secara rinci kejadiannya. “Fik, kamu bisa nggak, pinjami aku uang, insyaallah aku kembaliin kalo udah ada uangnya,” ujarku dengan penuh ragu-ragu. Pinjam meminjam ataupun utang mengutang adalah suatu hal yang kubenci sejak aku pernah merusakkan barang sahabatku yang pernah kupinjam. Dengan nada lantang, Taufik berkata, “Kau kan temanku, aku akan lakukan usaha semaksimal mungkin unuk membantumu”. Pembicaraan ini selesai ketika dosen datang.

Pulang dari kampus, aku sengaja melewati jalan yang berbeda agar aku hafal seluruh sudut kota. Secara tidak sengaja, aku melihat seorang tukang sol sepatu. Kulihat dia hanya bertangan satu, lengan baju bagian kirinya bebas terhembus angin. Dia memperbaiki sepatu tersebut dengan telaten. Aku mendekatinya, “Pak, Bapak bersyukur tidak, mempunyai tubuh yang tidak sempurna,” tanyaku dengan hati-hati, aku tidak ingin menyinggung perasaan bapak ini. “Saya sangat bersyukur Dik, walaupun Bapak mempunyai tubuh yang tidak sempurna, setidaknya Bapak bersyukur bisa bekerja untuk kebutuhan hidup sehari”, aku semakin penasaran dengan bapak ini, “Lalu rezeki Bapak gimana, lancar atau tidak?” tanyaku penasaran. “Rezeki udah ada yang ngatur, Bapak hanya ikhtiar lalu hasilnya diserahkan kepada Allah. Aku semakin tersipu malu, aku yang hanya kehilangan barang dagangan saja sudah putus asa. Lalu dalam hati, aku niatkan, aku tidak akan putus asa di tengah jalan.

Di kos, aku putuskan untuk berhenti menjual dagangan dari ibu dan melamar pekerjaan menjadi editor di sebuah penerbit buku yang lumayan terkenal, yaitu Monokrom. Aku memilih menjadi editor karena bicara dalam Bahasa Inggrisku sangat fasih. Dulu aku pernah berpidato menggunakan bahasa Inggris sewaktu SMA. Aku terdiam sejenak, kuambil kertas ukuran A3 dan kutuliskan “Man Jadda wa Jada” artinya, barangsiapa bersungguh-sungguh niscaya ia akan bisa. Esok aku akan melamar bekerja, semoga aku diterima bekerja. Setelah kutuliskan “Man Jadda wa Jada”, aku merebahkan badanku ke kasur, menatap langit-langit kos, membayangkan masa depan yang tak pasti.

Aku terbangun oleh kumandang adzan shubuh. Aku segera mengambil air wudhu dan menuju masjid. Masjidnya tidak terlalu jauh, hanya 100 meter dari kos-kosanku. Selesai salam, aku berdoa agar aku bisa diterima bekerja nanti. Pukul 08.00 WIB aku sudah siap untuk melamar kerja, dengan tekad baja aku menuju ke sana dengan semangat membara. Sampai di sana, kutengok gedung Monokrom, sebuah gedung sederhana tetapi berornamen modern. Aku melangkahkan kakiku menuju pintu masuk, kubuka pintu depan gedung ini dengan membaca bismillah. Setelah masuk, aku merasakan aura bersahabat. Aku segera menuju resepsionis untuk melamar kerja. Lalu aku diminta mengisi formulir biodata. Aku dites dan diwawancarai menggunakan bahasa Inggris. Setelah selesai, aku diminta menunggu dan diperbolehkan jalan-jalan di gedung ini. Tak terasa, aku sudah 1 jam menunggu. Tiba-tiba suara muncul dari speaker yang terletak di sudut ruangan “Muhammad Irfan Al-Fath harap menuju resepsionis sekarang”, hatiku berdegup kencang diiringi dengan kakiku yang gemetar. Aku mempunyai perasaan buruk soal ini, tapi aku juga harus optimis pada hasilnya. Salah seorang pegawai memberiku sebuah amplop. “Silahkan dibaca Mas!” katanya dengan penuh senyuman. Kubuka amplop itu perlahan, tanganku gemetaran memegangnya. Aku ambil secarik kertas yang masih tertekuk di dalamnya. Di sana tertulis “Mohon maaf kepada saudara Irfan”, aku berhenti sejenak. Aku tidak percaya lamaran kerjaku ditolak. Perasaanku bercampur aduk, aku putus asa,  serasa semesta ini tidak mendukungku untuk bekerja. Lalu kubuka kertas yang masih tertekuk “Mohon maaf kepada saudara Irfan, Anda harus bersiap-siap besok untuk bekerja disini”. Aku tercengang, ternyata aku diterima untuk bekerja di sini “Terimakasih, Ya Allah, engkau memberiku kesempatan,” ujarku dalam hati. Lalu aku segera mengucapkan terima kasih kepada pegawai yang memberikan amplop itu kepadaku. Setelah itu, aku pulang dengan perasaan gembira. Sampai di kos, aku merebahkan diri. Sambil menatap langit-langit, aku tidak percaya kejadian hari ini. Aku segera mengambil diariku dan menuliskan apa yang terjadi hari ini.

2 Bulan berlalu…..

Aku berlari ke Taufik, teman yang pernah kupinjami uang. “Fik, ini uangmu yang pernah aku pinjam kemarin,” ujarku dengan senyuman. “Makasih ya Fan,” tersirat senyuman di wajahnya. “Hari ini aku dapat gaji, makanya aku langsung bayar utangku”, aku menjelaskan dengan serius “Cihuy, yang udah gajian, selamat yaaa”, katanya dengan penuh pengharapan. Setelah dari kampus, aku pergi ke kantor pos untuk mengirimkan uang kepada Ibu. Sejak bapak meninggal, ibu menjadi tulang punggung keluarga, ibu harus menafkahi aku dan adikku yang masih SD. Aku tidak ingin memberatkannya, aku malah ingin menggantikan posisi ibu dan menafkahi seluruh keluargaku. Sebenarnya Ibu hanyalah seorang buruh batik tulis yang bayarannya tidak seberapa, hanya cukup untuk makan sehari-hari.

Satu hari setelahnya, aku mendapat kabar buruk. Aku dikeluarkan dari Monokrom karena percetakan tersebut bangkrut. Sejak krisis ekonomi Internasional, beberapa perusahaan di Indonesia gulung tikar. Percetakan ini bisa bertahan selama satu tahun saat krisis ekonomi dimulai, setelah itu percetakan ini bangkrut. Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi, yang dibayanganku hanya bagaimana aku bisa hidup untuk beberapa waktu ke depan. Uang yang kupunya tinggal seratus ribu, itu hanya cukup untuk makan selama 2 minggu. Secara terpaksa, aku harus melakukan sesuatu yang sebenarnya kubenci, alias ngutang. Kali ini aku tidak ingin ngutang kepada Taufik lagi, aku mencari seseorang yang bisa kuhutangi. Seseorang terbesit di pikiranku, mungkin Fikri bisa membantuku. Fikri adalah anak dari seorang pengusaha kaya raya yang terkenal seantero Bandung, walaupun orang tuanya kaya, dia adalah seorang yang rendah hati, dan bersahabat. Tanpa menunda, aku berjalan menuju Fikri berada. “Fik, aku mau ngomong sama kamu, di tempat lain yaaa, yang sepi,” kataku dengan pelan. “Oke Fan, maunya dimana?” ujarnya tanpa beban, “Di taman depan kampus aja,” kataku. Dia tidak bicara, dia langsung menuju ke Taman. “Fik, sejak krisis ekonomi internasional, aku sudah nggak punya uang, aku nggak tahu harus gimana lagi,” ujarku memelas. “Oke Fan, aku akan bantu kamu semampuku. Jadi aku akan pinjami uang ke kamu, kamu maunya berapa? Kapanpun kamu kembalikan aku terima.” “Aku bisa pinjem 1 juta nggak?” aku berharap itu bukan jumlah yang besar untuk Fikri. “Siap, besok aku kasih uangnya. Aku akan bantu kamu semaksimal mungkin, kamu ‘kan temanku, mana mungkin seseorang bisa ninggalin temannya yang kesusahan”, ujarnya dengan yakin. “Makasih ya, semoga kebaikanmu dibalas oleh Allah”, doaku. “Amiin” sahut Fikri

10 tahun kemudian…

Suatu pagi di Washington…

“Kang, kapan pulang ke Indonesia? Kuliah akang udah selesai lho..”, celetuk istriku, Raisa, dia selalu ngebet kalo urusan pulang ke Indonesia. “Sabar, mungkin lusa depan kita balik ke Indonesia”, ujarku. Aku dan istriku bersama-sama kuliah di George Washington University, kami melanjutkan kuliah S2 setelah satu tahun menikah dan yang mengejutkan lagi, kami mendapat beasiswa pada satu universitas yang sama walaupun pada jurusan yang berbeda. Kuliahku di Washington berjalan lancar, aku bekerja di VOA sebagai penerjemah. Sedangkan istriku, mempunyai pekerjaan yang sangat berat, melelahkan, dan butuh perjuangan, dia menjadi pendukungku dikala sedih maupun senang, mengurus apartemenku, dan pekerjaan lain-lain. Dia menjadi potongan terpenting dalam hidupku.

Sebelum berangkat ke Indonesia, kami berdua mengurus semua yang dibutuhkan. Tak lupa, aku berpamitan kepada rekan-rekan VOA dari Amerika maupun dari Indonesia, lalu kepada sahabat di kampusku, yaitu Erik, dan kepada teman-teman dari kedutaan Indonesia yang selalu mendampingi. Semoga aku bisa dipertemukan dengan mereka di lain waktu.

Aku pijakkan kakiku ke dalam pesawat. Aku dan Raisa sudah tak sabar untuk kembali ke Indonesia, bertemu dengan sanak saudara dan kawan-kawan kami. Burung besi terbang dengan kecepatan penuh, dari atas terlihat Washington Monument menjulang tinggi ke angkasa. Dalam beberapa jam, kami akan sampai ke Indonesia.

COMMENTS