Live Streaming PKTenable.com Radio

Cerpen Ikhlaskan Walaupun Sulit

Cerpen Sahabat Semusim
Euphoria
Five Feet Apart, Ketika Cinta Harus Terpisah Jarak

Ikhlaskan Walaupun Sulit

Karya: Alifa Maharisa Azizah Kelas 9 A

Sumber foto dari internet

“Untuk saat ini, berdasarkan deteksi dari kami, anak ibu positif terkena kanker hati stadium 4,” tutur sang dokter.

“Apa? Kanker hati, Dok? Dokter ini tidak mungkin! Pasti Dokter salah!” teriak mama.

“Udah Ma, aku tau ini berat, tapi ya sudahlah. Aku sudah ikhlas Ma,” ujarku di sela tangis.

“Tapi, Nak… baiklah kamu harus kuat. Mama tahu kamu anak yang kuat!” semangat mama.

“Dok, apakah ada cara agar anak saya sembuh?” Tanya mama.

“Bisa Bu, tapi itu kemungkinan yang sangat kecil. Kanker sudah menggerogoti tiga perempat hati anak ibu. Kemoterapi mungkin bisa berhasil. Kita berdoa saja. Keajaiban itu ada.” Semangat dokter.

“Baiklah Dok, terima kasih nanti akan saya atur jadwal kemoterapinya. Ayo sayang kita pulang!” ucap mama pasrah.

***

Arkaneeqa Aliya Sudarsono itulah namaku. Orang-orang memanggil aku Liya. Nama belakangku Sudarsono, yang diambil dari nama ayahku. Mama adalah sosok yang kuat. Beliau menjadi single parent sejak ayah meninggal 2 tahun yang lalu. Mama yang selalu menemaniku kemoterapi, membantu aku belajar dan mengurus rumah dibantu oleh Simbok.

“Liya, ayo Nak, sudah siang! Segera berangkat, yuk!” ajak mama.

“Ayo ma, Liya sudah siap,” ujarku.

Sekolah, itu yang aku lakukan setiap hari. Sakit bukan halangan buat sekolah. Aku berterima kasih pada Tuhan yang sudah memberi umur buat aku. Aku juga berterima kasih buat mama yang menyekolahkan aku di sekolah Islam, jadi aku bisa merahasiakan penyakitku dan bisa hidup normal. Bagiku sekolah itu seperti tempat yang membuat aku lupa kalau aku lagi sakit dan bisa jadi moodbosterku.

“Liya! Udah ngerjain PR dari Bu Linda belum?” teriak Fildza.

“Oh iya, PR Ya Allah Ya Tuhanku. Demi apa aku belum ngerjain!” ucapku panik.

“Badalah! Aku juga belum. PR yang 100 soal itu ‘kan? Aku belum ngerjain!” Teriak panik dari Nayla.

“OMG! Demi apa! Sebenernya aku juga belum ngerjain,” ucap Fildza.

“Fildza, aku pikir kamu udah ngerjain. Dasar!” ucapku ketus, sedangkan Fildza tertawa lepas.”

“Oke oke. Mending kita nggak usah ngerjain aja! Biar dihukum bareng gitu.” Ucap Nayla.

“Wah wah…boleh tuh. Paling cuma dihukum keluar kelas,” ucap Fildza.

“Ya, jangan gitu! Nanti kalau Bu Linda lagi badmood, malah kita disuruh bersihin sekolah gimana? Kan malah tambah pusing,” ujarku.

“Gak bakalan lah. Dah…Liya kamu mau ikut kita nggak?” Tanya Nayla.

“Kalian serius ya? Emm…ok aku ikut kalian,” ujarku.

Yaps…Nayla dan Fildza adalah sahabatku. Mereka yang membuat aku lupa kalau aku lagi sakit. Padahal mereka belum tahu kalau aku sakit.

“Anak-anak keluarkan PR kalian!” perintah Bu Linda.

“Ada yang belum mengerjakan?” Tanya Bu Linda.

Spontan aku, Fildza, dan Nayla angkat tangan.

“Oh kalian bertiga. Ok, hukumannya tidak berat. Tadi saya lihat CS sekolah sedang tidak enak badan. Jadi silakan kalian membersihkan kamar mandi di lantai 2. Sekarang!” perintah Bu Linda.

“Kamar mandi Bu? Loh biasanya…” ucap Fildza.

“Oh mau nambah lagi?” potong Bu Linda.

“Ok siap Bu,” ucap kami meninggalkan kelas.

***

“Kalian sih! Karma itu tetap berlaku. Malah nekat nggak ngerjain PR. Capek nih habis bersihin kamar mandinya,” gerutu Nayla.

“Ya udahlah. Kita ambil hikmahnya aja! Ya nggak?” ucapku.

“Yoi, dong,” jawab Nayla dan Fildza.

***

“Maaf Bu, tapi kami sudah berusaha. Liya anak yang kuat. Saya yakin perkiraan saya tidaklah benar,” tutur dokter ke mama.

“Saya tahu Liya anak yang kuat, tapi perkiraan dokter itu membuat saya merasa bahwa saya akan kehilangan orang yang saya sayangi lagi. Dulu ayahnya Liya meninggal karena kanker juga. Sekarang…apa itu akan terulang? Saya tidak sanggup Dok!” tangis mama.

“Udahlah Ma. Liya kuat kok. Liya akan bertahan lebuh dari 3 bulan. Mama harus percaya sama Liya!” ujarku di sela tangis mama.

“Iya sayang, kamu harus kuat! Yang strong, ya, Nak! Mama akan selalu dukung kamu.”

Ya Allah aku mohon sebelum aku mati, aku mau mewujudkan mimpiku yaitu membawa mama kembali ke Blitar. Aku cuma nggak mau mama sendirian di sini. Doaku dalam hati.

***

Sudah lebih dari 3 bulan. Tidak terasa berjalan sangat cepat. Tiap kali aku tidur, aku selalu mikir gimana kalau besok aku nggak bangun lagi. Aku takut mama bakalan putus asa. Aku takut aku nggak bisa mewujudkan mimpi terakhirku.

“Mama aku pengen ke Blitar. Aku pengen ketemu nenek. Udah 2 tahun aku nggak balik ke sana. Semenjak ayah meninggal, mama nggak pernah ngajak aku ke Blitar,” rengekku.

“Tapi Nak, kamu belum sehat. Kamu juga….Ok kita ke Blitar besok. Kamu siap-siap ya, ajak Simbok juga!” jawab mama.

***

“Sebentar lagi sampai loh,” teriak mama.

“Yay…! Aku kangen Nenek!’ teriakku senang.

Sekarang aku lagi di mobil bersama Simbok dan Mama. Perjalanan ke Blitar membuatku lelah. Dari tadi aku sudah berkali-kali ketiduran di mobil.

“Ok sayang kita sudah sampai. Ayo turun!” ajak mama.

“Ok, Ma,” ujarku.

“Simbok tolong bawain barang-barang di bagasi ya! Liya ayo masuk! Ajak Mama, aku hanya mengangguk. Entah kenapa tubuhku rasanya berat sekali.

Bruuk…aku terjatuh.

“Liya! Kamu kenapa sayang” teriak mama panik. Simbok dan nenek langsung berlari ke arahku.

“Ma…ma…Liya udah berjuang. Liya juga udah mewujudkan semua mimpi Liya. Bukannya Liya capek berjuang, tapi Liya udah dijemput sama ayah. Ma, Liya pergi dulu ya. Nenek, Simbok jagain mama ya. Mama jangan sedih terus kalau Liya udah nggak ada. Mama ikhlasin Liya pergi ya. Itu permintaan terakhir Liya,” ucapku.

“Sayang, Mama udah ikhlas kalau Liya pergi. Hati-hati ya, Nak. Salam buat Ayah. Tunggu Mama di sana. Mama sayang kalian,” ucap mama di sela tangis.

Seketika itu semua menjadi hitam.

(Dikutip dari Antologi Cerpen Sahabat Semusim, 2017)

Newer Post

COMMENTS