Live Streaming PKTenable.com Radio

12 PM

RESENSI FILM
Resensi Buku Komet Minor
Tak Mengerti Arah

Tasya membawa tumpukan kertas di tangannya dengan susah payah sambil mendesah, “Huh, bahkan hanya untuk membantuku membawa kertas-kertas ini saja mereka tak mau?! Mau jadi apa mereka nanti!” Tasya terlalu lelah untuk menghadapi anak-anak manja di kelasnya. Ia geleng-gelang karena sifat manja anak-anak di kelasnya sudah terlampau akut.

“Apa yang kupikirkan? Bukankah aku selalu bekerja sendirian? Bahkan tak pernah butuh bantuan, haha. ” Tasya nyengir dengan kata hatinya itu. Jika mereka tidak mau dan terus bertahan dengan sifat manjanya itu, maka ia memutuskan berdiri dengan prinsipnya sendiri.

Ia mengecek jam tangan digitalnya.

“12 PM” Benar saja, sudah jam 12 siang! Pasrah, ia terlambat untuk mengikuti jam pelajaran ketiga. Tak ingin buang waktu, ia mempercepat langkahnya.

  Brak!

Kertas-kertas yang dibawanya itu jatuh dan berceceran ke segala arah. Beberapa hanya jatuh dan yang lainnya berterbangan. “Aish, kenapa harus pakai acara jatuh?! ” ia berjongkok dan meraih satu persatu kertas-kertas itu.

 “Do you need a help? “ seseorang bertanya dari samping telinganya.

   “Thanks. But, i can do it by my self” Tasya menjawabnya cepat. Ia sekalipun tak menoleh. Tapi apa yang dilakukan orang itu? Pergerakannya malah sudah mengambil kertas-kertas itu dengan cepat. Bahkan sebelum Tasya menyelesaikan kata-katanya. Bisakah orang itu menjadi pendengar yang baik? Gerutunya kesal.

“Hey! Aku tidak butuh bantuan,” ucap Tasya merapikan tumpukan kertas di tangannya yang sudah dikumpulkannya dengan susah payah.

“Ini. Oh iya, aku juga tidak butuh jawaban ‘Hey! Aku tidak butuh bantuan’! Apakah itu caramu berterima kasih, huh? ” cowok itu mengangkat salah satu alisnya lalu menyodorkan tumpukan kertas itu pada Tasya.

“Terima kasih”

Ya, sepertinya cowok itu benar. Belakangan ini emosinya sedikit labil. Mungkin karena masalah yang menumpuk di otak dan batinnya.

Tasya belum pernah melihat cowok sebelumnya. Mungkin karena setiap kelas selalu individualis. Jadi, anak kelas sebelah pun tidak pernah kenal.

“Aku Reza. Kelas VIII G.” Jika biasanya orang memperkenalkan dirinya dengan berjabat tangan. Laki-laki ini justru memasukkan kedua tangannya di saku celana.

“Tasya, VIII B. Aku duluan, terima kasih, Reza.” Tasya pergi sembari melambaikan tangannya ke arah Reza.

 

Tok tok tok!

Tasya masuk ke kelasnya tanpa ragu kemudian memberikan tumpukan kertas tadi kepada gurunya yang saat ini tengah mengajar di depan kelas. Tapi ini aneh. Gurunya sama sekali tak merasa terpanggil. Teman-temannya juga tak satupun yang melihat ke arahnya. Sekeras apapun yang ia katakan, mereka semua tidak mendengar.

Deg deg deg…

Jantungnya berdegup kencang. Bulu kuduknya merinding. Dirinya kemudian duduk di lantai, menyembunyikan kepalanya di lututnya. Ia menggaruk tengkuk kepalanya yang sebenarnya sama sekali tidak gatal. Ia kebingungan juga takut, apa yang terjadi?

“Tidak perlu takut, ini hanya satu jam”

“Eh?”

Tasya terkejut melihat cowok itu—Reza tengah berdiri di sampingnya. Kemudian ikut duduk di samping Tasya.

Dia… lagi?

“Semua yang kau lihat tidak nyata. Mereka hanya kebalikan dari dirimu yang asli” Reza membuka pembicaraan. Sementara Tasya mengernyitkan dahinya.

“Kau lihat perempuan yang duduk di sana?” Reza menunjuk ke arah yang dimaksudkannya. Tasya menyipitkan kedua matanya. Ia kemudian terkejut tak percaya. Ini tidak mungkin!

“Tasya….?” ucap Tasya kemudian menoleh pada Reza. Perempuan yang dilihatnya adalah dia. Bagaimana bisa?

 

Tapi, yang dilihatnya bukanlah sifat seorang Tasya. Ia mengobrol dengan teman sebangku juga teman di belakangnya. Apalagi di tengah pelajaran seperti ini. Itu terlihat seperti Tasya, namun Tasya KW.

“Lihat, kau dan temanmu itu ditegur oleh guru.” Reza terkekeh melihat Tasya KW yang sedang dimarahi oleh guru karena tak memperhatikan pelajaran.

“It’s not my style.” Jawab Tasya cemberut.

“Jadi…. apa yang di sampingmu itu temanmu?”

“Kami semua ini teman.” Tasya menjawabnya singkat.

“Apa dia teman dekatmu?”

Tasya menghela napas. “Mungkin aku percaya dengan kata yang disebut ‘teman’. Tapi aku ragu akan teman yang tulus berada di sampingmu.”

Tasya menatap lurus sementara Reza terus memperhatikan, ia mencerna setiap kata yang didengarnya.

“Mereka akan mendekatimu jika kau berguna bagi mereka. Dan suatu saat akan meninggalkanmu. Ibarat seorang anak kecil yang punya mainan baru. Anak kecil itu akan memainkan mainan itu setiap saat dan akan meninggalkannya bila ia sudah tak berumur untuk memainkannya lagi.”

“Aku muak. Aku mengisolir diriku sendiri. Tapi bukan berarti aku bersikap individualis. Terkadang aku masih berbicara pada beberapa orang. Aku ini memang aneh.” Reza mengangguk mengerti.

“Jadi, selama ini kau tak memiliki teman? Teman yang tulus?”

Sepertinya tak perlu dijawab pasti Reza sudah mengerti. Ia  mencoba untuk tak banyak mengungkit masalah pribadinya yang orang lain tak perlu tau.

Ugh, bau apa ini?” Reza menjepit hidungnya dengan kedua jarinya. Tasya pun mencium bau yang sama. Darimana asalnya bau gosong ini? Baunya sangat pekat, rasanya ingin muntah.

Reza mengajak Tasya mencari asal bau gosong tersebut. Mereka sampai di lapangan sekolah, saat itu kelas VII sedang berkemah. Ia ingat, ini terjadi saat kemah minggu lalu. Kala itu, tiap regu sedang memasak makanannya masing-masing.

“Ternyata kau payah dalam urusan masak,” ledek Reza setelah melihat Tasya KW memasak bersama anak-anak manja itu. Mereka tengah menggoreng ikan namun gosong karena mereka terlalu takut untuk mengangkatnya dari penggorengan.

Tak!

Tasya menjitak kepala Reza. Ia tak terima disebut payah dalam urusan masak. Jelas-jelas ia selalu diandalkan dalam urusan itu. Rasanya pun tak pernah mengecewakan.

“Mau coba?” Reza menawarkan ikan yang gosong itu pada Tasya, sementara Reza sudah memakannya duluan. Sedikit ragu, namun akhirnya ia mencuil ikan itu sedikit lalu memakannya.

“Uhuk! Tak hanya gosong, tapi juga asin! Ini tak layak pangan!” Tasya menutup mulutnya, ia ingin memuntahkanya namun sudah terlanjur masuk ke saluran pencernaannya. Rasanya seperti memakan satu baskom garam, sangat asin. Padahal ini bukan ikan yang memang dimasak asin.

“Ayo ketempat lain!” ajak Reza semangat.

Reza mengajaknya ke lapangan belakang sekolahnya. Tepatnya di lapangan basket. Mereka berdua melihat meja-meja kotor yang tergeletak begitu saja.

“Anak-anak itu! Benar-benar tak bertanggung jawab!” seorang Cleaning Service marah setelah melihat meja-meja yang kacau itu.

“Ada apa Pak?” tanpa ragu Reza menghampiri Cleaning Service itu. Tasya melihatnya dari jauh. Bingung. Kenapa Reza yang tidak bisa dilihat orang lain sama seperti dirinya namun sekarang bisa dilihat dan bahkan berbicara pada orang lain, sedangkan Tasya tidak bisa?

“Anak-anak itu, si Tasya dan teman-temannya bilang akan membersihkan meja-meja ini lalu mengembalikan pada tempatnya semula setelah bazaar selesai. Tapi nyatanya tidak sama sekali! Mereka meninggalkannya dan langsung pulang.” Jawab Cleaning Service itu sambil mengelap meja yang penuh dengan bau manis minuman serbuk. Reza mengangguk mengerti. Ia kemudian pamit pada Cleaning Service itu setelah membantunya membersihkan beberapa meja.

“Mau kuajak ke tempat lainnya?” ajak Reza menawarkan. Tasya hanya merespon dengan anggukan. Reza sadar, Tasya hanya berdiri diam di tempat sambil melamun memperhatikan pembicaraan antara Reza dan Cleaning Service itu.

Mereka sampai di sebuah hutan yang lebat. Tampak sekelompok anak-anak manja itu lagi bersama Tasya KW. Ah ya, ini kemah bulan lalu.

Akh!

Salah satu dari mereka terluka entah oleh apa. Darah itu mengalir deras keluar dari luka anak itu. Bukannya berbuat sesuatu, mereka—termasuk Tasya KW malah menyalahkan anak yang terluka itu lalu meninggalkannya sendiri di tengah hutan. Benar-benar tidak manusiawi!

Anak itu menangis meratapi lukanya. Sudah sakit, ditambah hatinya yang sakit karena ditinggal oleh temannya sendiri. Anak itu menyadari bahwa hari semakin larut, ia ketakutan. Sangat sulit untuk berdiri, pasrah tak bisa berbuat apa-apa. Anak itu hanya berdoa sambil menangis, berharap ada keajaiban yang datang dari Sang Kuasa.

Reza dan Tasya tak tinggal diam. Mereka menghampiri anak itu dan membawanya pulang ke tempat perkemahan. Awalnya Tasya sedikit ragu karena apakah dirinya bisa dilihat oleh anak itu. Namun keraguannya itu urung, ia yakin bahwa kebaikan itu tidak akan ada yang bisa menolak. Dan benar saja, anak itu dapat melihat dirinya. Namun bukan Tasya yang anak itu kenal, Tasya asli berwujud seperti orang lain di mata anak itu.

Setelah mengantar anak itu, keduanya telah sampai ke lorong tempat di mana keduanya bertemu. “Jadi, apa yang bisa kau simpulkan?” tanya Reza.

“Aku melihat Tasya, tapi dalam kenyataan yang berbeda. Tasya yang tidak punya teman. Tasya yang tak pernah dekat juga akrab dengan anak-anak manja itu. Tasya yang tak pernah megobrol saat pelajaran. Tasya yang masakannya sangat diandalkan, semua orang menyukai masakannya. Tasya yang selalu bertanggung jawab. Tasya yang selalu peduli pada siapapun. Namun disini aku berbeda 180 derajat. Seperti sebuah cermin namun terbalik.” jawab Tasya panjang.

“Mungkin jika kau tidak punya teman yang tulus adalah yang terbaik untuk saat ini. Jika kau tak punya teman, otakmu belum terkontaminasi oleh sifat anak-anak manja itu. Jika kau tak punya teman, kau selalu mematuhi aturan. Jika kau tak punya teman, kau pasti sudah memasak ikan itu sendiri dengan benar. Jika kau tak punya teman, kau pasti sudah membersihkan meja itu dan mengembalikannya sendiri. Cleaning Service itu tidak akan mengecap dirimu juga temanmu tidak bertanggung jawab. Jika kau tak punya teman, kau mungkin sudah membantu anak itu bahkan kau tak akan peduli jika anak lain sudah pergi jauh. Dan kau akan menggendongnya sampai kembali ke tenda, tidak peduli jika bagimu itu berat.” Bahkan jawaban Reza jauh lebih panjang dari Tasya sebelumnya.

“Mungkin sekarang kau belum punya teman yang tulus tapi suatu saat kau pasti akan mendapatkannya. Percayalah, takdir pasti punya alasan. Jangan pernah mengeluh. Meskipun jika kau tidak pernah mengeluh. Tetaplah jadi dirimu. Masalahmu saat ini adalah sebab kau berbeda dari teman-temamu. Kau itu kuat.” Reza menepuk pundak Tasya.

“Seseorang pernah berkata ‘You can’t be happy everyday. but there are things to be happy about everyday.‘ Sekarang aku mengerti apa maksud dibalik kutipan itu.” ucap Tasya. Reza menatap Tasya lurus. Tubuhnya perlahan menghilang. Pudar, makin pudar dan… hilang.

Sepertinya satu jam telah berlalu. Kini dirinya berada di tengah lorong dengan membawa tumpukan kertasnya seperti sediakala. Ia mempercepat langkahnya.

Tok tok tok

Semua orang kini menatapnya dengan tatapan tak menyenangkan. Baiklah, ini memang salahnya.

“Letakkan kertas itu dan pergi ke lapangan. Push up 100 kali!” perintah gurunya yang sejak tadi duduk di kursi.

“Iya, Pak.” Tasya tidak menolak. Baginya, push up 100 kali adalah hal kecil baginya. Meskipun begitu, tetap saja teman-temannya menatapnya dengan tatapan iba sekaligus mengejek.

Matahari tidak terlalu menyengat siang itu. Kali ini ia beruntung.

“Terima kasih, Reza. Karenamu aku mendapat hadiah push up, ” batinnya. Ia tak tahu apakah dirinya harus kesal atau pun senang.

“Sembilan lima, sembilan enam, sembilan tujuh, sembilan delapan, sembilan sembi….. lan,  Serat…. Tus!” selesai sudah hukuman itu. Ia memijat lengannya yang kini terasa keram.

“Minum?” sebuah bayang-bayang mendekati dirinya.

“Re… Reza?” Tasya mengernyitkan dahi. Bukankah laki-laki yang bernama Reza itu hanyalah sesuatu yang tidak nyata? Lalu, siapa yang dihadapannya kini?

“Ah, kupikir murid di sini individualis. Iya, namaku Reza. Nama panggilan tepatnya.”

Reza menggaruk tengkuknya.

“Fachreza?” Tasya membaca nama yang tertera di name tag laki-laki itu.

“Iya, Fachreza. Bukankah kau murid kelas sebelah? Aku terkejut, kau satu-satunya murid kelas lain yang tau nama panggilanku.” ucapnya kagum.

“Lupakan itu.” Tasya memasang muka masam, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.

  Oleh:Nabila Aziz (VIII B)

Older Post

COMMENTS