Live Streaming PKTenable.com Radio

Menghadirkan Pendidikan Ramah Anak

Bullying di Sosmed
Keterampilan STEM Education di Era Milenial
Merdeka Tanpa Bully

Oleh : Muhdiyatmoko *)

Muhdiyatmoko,M.Pd
Kepala SMP Muhammadiyah PK Solo

Pendidikan adalah salah satu komponen penunjanag tegaknya bangsa dan negara ini. Melalui pendidikan pula lahirlah calon pemimpin-pemimpin bangsa yang siap menerima estafet kepemimpinan bangsa. Akan tetapai, terkadang dunia pendidikan dikotori dengan berbagai kasus kekerasan ,bullying, pelecehan dan sebagainya yang merusak atmosfer penyiapan kader bangsa tersebut. Bahkan terkadang dunia pendidikan menjadi instrumen untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Hal ini bisa terbaca ketika beberapa orang berbeda pandangan politik mengalami perlakuan yang tidak rasional dan objektif. Belum lagi ditambah kekerasan yang sering terjadi di dunia pendidikan kita.
Kita masih ingat perilaku oknum pendidik yang melakukan tindak kekerasan kepada salah satu siswanya. Guru tersebut melakukan tindak kekerasan berupa pemukulan, tendangan, dan penyiraman air teh ke tubuh siswa tersebut Hal itu dilakukan karena siswa tersebut ada indikasi untuk membolos sekolah. Sebuah pemandangan yang ironi

s dan paradoksal di tengah-tengah kondisi bangsa yang konon menjunung tinggi moral dan karakter. Haruskah setiap permasalahan harus diakhiri ( baca: diselesaikan ) dengan kekerasan ? Apakah dunia pendidikan juga telah terkontaminasi gaya preman ?
Sekolah sebagai lembaga pendidikan idealnya mampu memberikan pencerahan dan perbaikan kepada peserta didik. Peserta didik di sebuah satuan pendidikan memang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Baik secara fisik, social ekonomi,maupun dari psikologi. Pendidik sebagai orang yang lebih dewasa hendaknya mampu memahami karakter siswa. Sehingga ketika melihat perilkau siswa yang berbeda tidak serta merta guru memvonis dan mengambil keputusan secara sepihak. Apalagi cara-cara yang digunakan dengan pendekatan otoriter, kekerasan, dan gaya premanisme.
Kita sepakat bahwa punishment atau hukuman bagi siswa yang melanggar tata tertib harus ditegakkan. Karena sekolah tanpa ada penegakkan tata tertib maka akan menjadi sekolah permisif. Sekolah yang didalamnya serba boleh tanpa ada penegakan aturan yang jelas dan tegas. Implikasi berikutnya adalah lemah dalam penguatan dan pembentukan karakter siswa. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah penegakan aturan dan tata tertib siswa harus dengan kekerasan ? Apakah untuk menyadarkan siswa harus dengan tendangan dan pukulan ? Sudah begitu parahkah tingkat kenakalan siswa hingga harus ditempuh jalur kekerasan ?
Marilah pertanyaan-pertanyaan tersebut kita renungkan dan dicarikan solusi yang tepat. Apa pun bentuk kekerasan tidak diperkenankan di negara yang konon menjunjung tinggi hukum ini. Siswa boleh jadi salah. Siswa boleh jadi melanggar tata tertib. Akan tetapi bentuk kekerasan dalam menyelesaikan setiap masalah juga tidak boleh. Di sinilah pentingya pendidikan yang ramah anak. Pendidikan yang manusiawi dan menghargai hak-hak anak.
Anak tetaplah anak dengan segala keunikan dan karakteristiknya. Mereka masih banyak membutuhkan pembimbingan dan pengarahan dari orang yang lebih dewasa termasuk pendidik. Segala tingkah polahnya haruslah dimaknai sebagai bentuk “kreativitas” yang memerlukan sarana penyaluran. Anak bermasalah biasanya terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan dasar mereka ( basic psychological needs) . Banyak tokoh dan berbagai teori yang mengupas terkait hal itu. Salah satunya adalah Rudolf Dreikurs. Dreikurs (1968: 36) mengidentifikasi empat alasan mengapa siswa berperilaku buruk, yaitu untuk mendapatkan (1) perhatian, (2) kekuasaan, (3) balas dendam, atau (4) untuk menampilkan perasaan tidak mampu. Pertama, siswa perlu mendapat perhatian. Jika mereka tidak mendapatkan perhatian positif mereka akan mencari perhatian negatif melalui nakal. Perhatian positif dapat mengembangkan harga diri yang sehat mereka. Kedua, dalam rangka untuk mendapatkan kekuasaan dan kontrol dapat memotivasi siswa untuk berbuat jahat. Mereka tidak ragu-ragu untuk mengambil sikap mengenai hal-hal penting bagi mereka dan sering mengganggu dalam mencapai tujuan mereka. Guru mungkin merasa diprovokasi, terancam atau ditantang oleh siswa tersebut.
Ketiga, seorang siswa yang telah terluka oleh orang lain merasa bahwa dia perlu mendapatkan bahkan atau membalas dendam dalam bentuk serangan fisik atau psikologis. Ketika dia diperbolehkan untuk menyakiti orang lain atau membalas dendam ia membentuk sebuah siklus menjengkelkan menyakiti dan disakiti. Akhirnya, perasaan tidak mampu dapat menjadi jalan keluar bagi siswa putus asa karena lebih mudah untuk menyerah daripada mencoba dan gagal. Siswa yang tidak memadai dapat membual, menyombongkan diri atau melawan, dan mungkin tidak mau mencoba hal-hal baru. Misalnya, kritik konstan dari guru atau rekan-rekan dapat membuat siswa tersebut merasa tidak berharga.
Sebagai guru, tanggung jawab kita adalah untuk membantu siswa menumbuhkan perilaku yang memenuhi kebutuhan tersebut sehingga mereka dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat belajar. Dreikurs & Cassel (1972: 39) mengemukakan beberapa metode bagi guru untuk mengidentifikasi empat hal mengapa siswa berperilaku buruk dan mencari metode yang dapat membantu mereka untuk kembali berpartisipasi positif di kelas. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: (1) mengamati perilaku anak secara rinci; (2) mengamati psikologis siswa terhadap reaksi guru; (3) menghadapi anak dengan menggali pertanyaan-pertanyaan berikut (apakah ia ingin perhatian khusus, apakah ia ingin jalan sendiri dan berharap untuk menjadi pemimpin, apakah ia ingin menyakiti orang lain sebanyak ia merasa terluka oleh mereka, dan apa yang diinginkan); (4) mencatat refleks pengakuan.
Pendidik yang mampu mendeteksi dan mendiagnosa perilaku siswa sejak dini akan mampu menghadirkan treatment yang tepat terhadap siswa. Guru tidak akan mudah terpancing emosinya ketika situasi tidak seperti yang diharapkan. Sehingga tidak akan mudah melakukan hal-hal reaktif sesaat yang tidak edukatif. Apalagi melakukan kekerasan fisik yang ujung-ujungnya bisa mencederai siswa. Siswa akan mengalami traumatis yang berkepanjangan dan akhirnya mematikan potensi-potensi yang dimilikinya. Padahal potensi siswa akan berkembang baik manakala kultur yang berkembang di sekolah tersebut menjunjung tinggi aspek humanitas dan keramahan.
*) Kepala SMP Muhammadiyah PK Kottabarat Surakarta.

COMMENTS