Namaku Syamsudin. Tahun ini umurku 11 tahun. Tapi, saat kejadian ini terjadi umurku baru 9 tahun. Di sekolahku, aku termasuk anak yang pendiam. Aku sangat jarang berbicara pada teman atau guruku. Terkadang, aku menggunakan bahasa isyarat saat menanggapi ucapan guruku. Mungkin karena aku terlalu pendiam aku menjadi sasaran empuk kakak kelas yang membullyku.
Salah satu atribut bagi siswa laki-laki di sekolahku yang berbeda dari Sekolah Dasar lainnya adalah peci. Di sekolahku, setiap siswa laki-laki wajib memakai peci.
Waktu itu, aku berjalan-jalan di halaman sekolah seusai jajan di waktu istirahat. Tiba-tiba, ada yang memukulku hingga peciku terjatuh. Ternyata, itu kakak kelasku. Aku segera mengambil peciku yang tergeletak di tanah. Sebelum aku sempat menyentuh peciku, kakak kelas itu menginjak tanganku. Rupanya, dia melakukan itu agar aku tak bisa mengambil peciku.
Peciku diambil olehnya lalu dilempar jauh-jauh. Aku segera berlari dan berusaha mengambil peciku. Ternyata aku kalah cepat dengan kakak kelasku. Sebelum aku sempat mengambilnya, dia sudah lebih dulu mendapatkan peciku dan melemparkannya lebih jauh lagi dan lagi… lagi… dan lagi… Aku tahu ini di sengaja. Jadi, setelah beberapa kali aku memutuskan untuk tidak mengambilnya. Untunglah ada kakak kelas baik hati yang mengambilkannya untukku.
Selain karena peci, dia juga membully ku karena hal yang sepele. Kejadian ini bermula ketika aku berangkat menuju masjid di sekolahku untuk melaksanakan shalat Jum’at. Sesampainya di masjid, aku segera mengambil air wudhu di sebuah ruangan di sebelah kamar mandi. Saat aku masuk ke ruang utama masjid, entah karena aku memang datang awal atau murid-murid lainnya belum datang, ruang utama masjid terasa sepi. Aku pun duduk di shaf bagian tengah dan mulai menunggu. Setelah beberapa saat aku menunggu, ruang utama masjid akhirnya mulai dipenuhi murid-murid serta masyarakat di lingkungan sekolahku.
Awalnya tidak terjadi apa-apa. Namun tiba-tiba…
“Hei! Mundur sana!” Aku menoleh. Rupanya ada kakak kelas yang membentakku, menyuruhku mundur ke shaf belakang. Aku diam saja, tak merespon. Toh, memangnya ini masjidnya siapa? Kok dia seenaknya menyuruh-nyuruh aku. Karena kesal aku tak menanggapi ucapannya, lalu kakak kelas itu memukulku.
Aku masih tidak peduli. Aku masih berpendirian seperti tadi.
“Heh!” bentaknya lagi. Sepertinya dia makin kesal karena aku tak merespon apa-apa.
Beberapa detik kemudian, tangan kakak kelasku itu sudah berada di leherku, mencekikku. Aku mulai kesulitan bernapas. Waktu itu aku sampai berpikiran bahwa aku akan mati tercekik di tangan kakak kelasku sendiri. Dengan terpaksa, aku akhirnya mundur ke shaf keempat.
Mungkin banyak orang berpikir ini hal sepele. Tapi, bagiku tidak. Sampai sekarang, aku masih menaruh dendam padanya. Pada kakak kelas pembully ku. Sampai sekarang, setiap dia bertemu denganku, setidaknya dia melakukan satu kenakalan padaku. Aku masih ingat betul bagaimana wajahnya dan namanya.
by. Dian Nurfitriani
COMMENTS